Friday, March 6, 2009

Perintisan Desa Siaga

Pengertian Desa Siaga
Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri.
Desa siaga ini merupakan program pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Disini, pengembangan desa siaga perlu dilaksanakan karena desa merupakan basis bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Desa yang dimaksud dalam desa siaga adalah kelurahan atau istilah lain bagi kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia.
Tujuan Desa Siaga
Pengembangan desa siaga memiliki beberapa tujuan :
Tujuan Umum :
Terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap masalah-masalah kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan di desanya.

Tujuan Khusus :
  • Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya kesehatan dan melaksanakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
  • Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan.
  • Meningkatnya kesehatan di lingkungan desa.
  • Meningkatnya kesiagaan dan kesiapsediaan masyarakat desa terhadap risiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana, wabah penyakit, dan sebagainya).

Sejarah Desa Siaga
Penggagas Desa Siaga ini adalah seorang aktivis perburuhan. Sri Kusyuniati (50), sebelum mencetuskan Desa Siaga telah menggeluti bidang perburuhan selama belasan tahun. Aktivis yang akrab dipanggil Kus ini, bahkan mendirikan Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) untuk membela kepentingan kaum buruh perempuan, dan pernah menjabat sebagai direktur eksekutif selama hampir 13 tahun.
Sepak terjangnya merintis Desa Siaga ini sendiri bermula tahun 2001-2003, saat ia bekerja untuk Program Maternal and Neonatal Health bantuan dari USAID. Selain itu, pasca-lengsernya mantan presiden Soeharto, berbagai gerakan memang berkembang pesat di Indonesia, termasuk gerakan buruh. Menurut Kus, saat itu isu kesehatan terlupakan, karena rakyat umumnya berkonsentrasi pada persoalan politik dan reformasi.
Menyadari masih kurangnya perhatian masyarakat terhadap isu kesehatan, Kus pada waktu itu berupaya merancang bentuk pengorganisasian masyarakat dengan menggunakan isu kesehatan. Ia lantas menggagas suatu program kesehatan untuk ibu dan bayi baru lahir, yakni program Siaga (Siap-Antar-Jaga). Melalui program ini, Kus ingin menyelamatkan para ibu dari kematian akibat persalinan, sebab angka kematian ibu akibat persalinan di Indonesia sangat tinggi.
Tragisnya, menurut Kus, penyebab kematian tersebut adalah hal-hal sepele yang bisa dihindarkan. Hal sepele itu berpangkal dari “3 Terlambat”, yakni terlambat dibawa ke rumah sakit, terlambat ditangani, dan terlambat mendapatkan pertolongan.
Kus kemudian mencoba mengatasi persoalan ini, antara lain dengan cara menghidupkan lagi sistem pranata desa yang pernah berlangsung di tahun 1960-an, di mana dalam keadaan darurat, seluruh masyarakat desa bersiaga. Sarana komunikasi berupa kentongan dihidupkannya kembali, dan kepedulian sosial yang telah mulai meredup di kalangan warga desa, perlahan namun pasti, dibangkitkannya lagi.
Ia ingin membangun suatu pranata masyarakat di mana kebersamaan timbul bukan karena “suruhan” atau paksaan dari atas, melainkan muncul atas kesadaran dan kerelaan dari bawah, atau dari kalangan masyarakat itu sendiri.
Gagasan perempuan yang berlatar pendidikan ilmu keguruan dan perburuhan ini ternyata cukup berhasil. Pada tahun kedua berjalannya program ini, Desa Siaga tumbuh pesat, dari 55 buah menjadi 300 Desa Siaga. Keberhasilan ini mendapat tanggapan positif dari Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat, yang lantas mengadopsi konsep ini untuk dijalankan di wilayahnya.
Keberadaan Desa Siaga, ternyata telah memberikan dampak positif, antara lain berhasil menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga pada tahun 2004 program ini diadopsi oleh Departemen Kesehatan, dan menjadi kebijakan nasional. Pada tahun 2006, Depkes menargetkan terbentuknya 12.000 Desa Siaga, dan tahun 2008, seluruh desa diharapkan telah menjadi Desa Siaga. Pengembangan Desa Siaga ternyata dipandang penting sebagai basis menuju masyarakat Indonesia Sehat.

Sasaran Desa Siaga
Sasaran desa siaga dibedakan menjadi tiga jenis untuk mempermudah strategi intervensi, yaitu :
  1. Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu melaksanakan hidup sehat, serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayah desanya.
  2. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan keluarga atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan perilaku tersebut, seperti tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda, kader, serta petugas kesehatan.
  3. Pihak-pihak yang diharapkan memberi dukungan kebijakan, peraturan perundang-undangan, dana, tenaga, sarana, dan lain-lain seperti Kepala Desa, Camat, para pejabat terkait, swasta, para donatur, dan pemangku kepentingan lainnya.

Komponen Desa Siaga
Kriteria Desa Siaga
Sebuah desa dikatakan desa siaga apabila telah memenuhi syarat sekurang-kurang satu buah Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Poskesdes merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Poskesdes dapat dikatakan sebagai suatu sarana kesehatan yang merupakan pertemuan antara upaya-upaya masyarakat dan dukungan pemerintah. Pelayanan di Poskesdes dapat meliputi upaya preventif (pencegahan), promotif (penyuluhan), dan kuratif (pengobatan) yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (terutama bidan) dengan melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya.
Poskesdes diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan atau revitalisasi berbagai UKBM lain yang dibutuhkan masyarakat desa (Warung Obat Desa, Kelompok Pemakai Air, Arisan Jamban Keluarga, dan lain-lain). Lain kata, poskesdes berperan sebagai koordinator dari UKBM-UKBM lain.
Kegiatan-kegiatan dalam sebuah Poskesdes merupakan kegiatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, secara minimal berupa :
  • Pengamatan epidemiologis sederhana terhadap penyakit, terutama penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB), dan faktor-faktor risikonya (termasuk status gizi) serta kesehatan ibu hamil yang berisiko.
  • Penanggulangan penyakit, terutama penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, serta faktor risikonya (termasuk status gizi).
  • Kesiapsiagaan dan penanggulangan becana dan kegawatdaruratan kesehatan.
  • Pelayanan medis dasar, sesuai dengan kompetensinya.
  • Kegiatan-kegiatan lain yaitu promosi kesehatan untuk peningkatan keluarga sadar gizi (kadarzi), peningkatan PHBS, penyehatan lingkungan, dan lain-lain, merupakan kegiatan pengembangan.
Poskesdes diselenggarakan oleh tenaga kesehatan (minimal seorang bidan), dengan dibantu oleh minimal 2 (dua) orang kader kesehatan. Untuk penyelenggaraan poskesdes, harus tersedia sarana fisik yang meliputi bangunan, perlengkapan, dan peralatan kesehatan. Beberapa alternatif pembangunan poskesdes dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut :
  1. Mengembangan rumah pondok bersalin desa (Polindes) yang telah ada menjadi poskesdes.
  2. Memanfaatkan bangunan yang sudah ada, yaitu misalnya Balai RW, Balai Desa, Balai pertemuan desa, dan lain-lain.
  3. Membangun bangunan baru, yaitu dengan pendanaan dari pemerintah (Pusat atau Daerah), donatur, dunia usaha, atau swadaya masyarakat.
Untuk melancarkan komunikasi dengan masyarakat dan dengan sarana kesehatan lain (khususnya Puskesmas), Poskesdes dapat memiliki sarana komunikasi.


Pendekatan Pengembangan Desa Siaga
Pengembangan desa siaga dilaksanakan dengan membantu / memfasilitasi masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran melalui siklus atau spiral pemecahan masalah yang terorganisasi, yaitu dengan menempuh tahap-tahap :
  • Mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah.
  • Mendiagnosis masalah dan merumuskan alternatif-alternatif pemecahan masalah.
  • Menetapkan alternatif pemecahan masalah yang layak, merencanakan, dan melaksanakannya.
  • Memantau, mengevaluasi, dan membina kelestarian upaya-upaya yang telah dilakukan.
Secara garis besar, langkah pokok yang perlu ditempuh untuk mengembangkan desa siaga meliputi :
Pengembangan Tim Petugas
Pengembangan tim petugas dilakukan paling awal, sebelum kegiatan yang lain dilaksanakan. Langkah ini bertujuan untuk mempersiapkan para petugas kesehatan yang berada di wilayah Puskesmas, baik petugas teknis maupun petugas administrasi. Persiapan ini bias berbentuk sosialisasi, pertemuan atau pelatihan yang bersifat konsolidasi sesuai kondisi setempat. Diharapkan setelah diadakan pelatihan petugas, petugas akan memahami tugas dan fungsinya serta siap bekerja sama dalam satu tim untuk melakukan pendekatan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat.
Pengembangan Tim Masyarakat
Langkahh ini bertujuan untuk menyiapkan para petugas, tokoh masyarakat, serta masyarakat agar tahu dan mau bekerja sama dalam satu tim untuk mengembangkan desa siaga. Langkah ini termasuk kegiatan advokasi kepada para penentu kebijakan, agar mereka mau memberikan dukungan, baik berupa kebijakan, anjuran, restu, dana maupun sumber daya lain sehingga pengembangan desa siaga dapat berjalan lancar. Pendekatan juga dilakukan kepada tokoh masyarakat agar tokoh masyarakat memahami dan mendukung, khususnya dalam membentuk opini publik guna menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan desa siaga.
Jika di daerah yang akan dikembangkan desa siaga telah terbentuk wadah-wadah kegiatan masyarakat di bidang kesehatan, seperti Konsil Kesehatan Kecamatan atau Badan Penyantun Puskesmas, Lembaga Pamberdayaan Desa, PKK serta organisasi kemasyarakatan lainnya, hendaknya lembaga-lembaga ini diikutsertakan dalam setiap pertemuan dan kesepakatan.
Survei Mawas Diri (SMD)
Community Self Survey (CSS) bertujuan agar pemuka-pemuka masyarakat mampu melakukan telaah mawas diri untuk desanya.Survey ini dilakukan oleh pemuka masyarakat setempat dengan bimbingan tenaga kesehatan. Setelah diadakan kegiatan SMD ini diharapkan ada identifikasi masalah-masalah kesehatan serta daftar potensi di desa yang dapat didayagunakan dalam mengatasi masalah kesehatan tersebut, termasuk dalam rangka membangun Poskesdes.
Musyawarah Mufakat Desa (MMD)
MMD ini bertujuan untuk mencari alternatif pemecahan masalah kesehatan dan upaya membangun Poskesdes, dikaitkan dengan potensi yang dimiliki desa. Di samping itu, juga untuk menyusun rencana jangka panjang pengembangan desa siaga. Musyawarah diselenggarakan oleh para tokoh masyarakat (ternasuk tokoh perempuan, pemuda, dan dunia usaha) bersama dengan seluruh masyarakat di desa siaga. Pada saat musyawarah, permasalahan dan temuan data yang berkaitan dengan kesehatan disajikan kemudian diselesaikan dengan solusi pemecahan dan termasuk pembangunan Poskesdes serta pengembangan desa siaga.

Pelaksanaan Kegiatan
  • Pemilihan Kader dan Pengurus Desa Siaga
  • Orientasi / Pelatihan Kader Desa Siaga
  • Pengembangan Poskesdes dan UKBM yang lain
  • Penyelenggaraan seluruh kegiatan Desa Siaga
Pembinaan dan Peningkatan
Salah satu kunci keberhasilan dan kelestarian desa siaga adalah keaktifan para kader. Oleh karena itu, dalam rangka pembinaan perlu dikembangkan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan para kader agar tidak drop out. Kader-kader yang memilki motivasi memuaskan kebutuhan social psikologisnya harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kreativitasnya. Sedangkan kader-kader yang masih dibebani dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya, harus dibantu untuk memperoleh pendapatan tambahan, misalnya dengan diberi gaji / insentif atau difasilitasi agar mau berwirausaha.
Untuk dapat melihat perkembangan desa siaga perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi, sehingga seluruh kegiatan-kegiatan di desa siaga perlu dicatat oleh para kader, misalnya buku register UKBM (kegiatan Posyandu dicatat dalam buku Register Ibu dan Anak Tingkat Desa atau RIAD dalam Sistem Informasi Posyandu.

Indikator Keberhasilan Desa Siaga
Indikator Masukan
Indikator masukan adalah untuk mengukur sebarapa besar masukan telah diberikan dalam rangka pengembangan desa siaga, meliputi :
  • Ada / tidaknya Forum Masyarakat Desa
  • Ada / tidaknya Poskesdes dan sarana bangunan serta perlengkapannya
  • Ada / tidaknya UKBM yang dibutuhkan masyarakat.
  • Ada / tidaknya tenaga kesehatan (minimal seorang bidan)
Indikator Proses
Indokator proses adalah indicator untuk mengukur seberapa aktif upaya yang dilaksanakan di suatu desa dalam rangka pengembangan desa siaga, meliputi :
  • Frekuensi pertemuan Forum Masyarakat Desa
  • Berfungsi / tidaknya Poskesdes
  • Berfungsi / tidaknya UKBM yang ada
  • Berfungsi / tidaknya Sistem kegawatdaruratan dan Penanggulangan Kegawatdaruratan dan bencana.
  • Berfungsi / tidaknya Sistem Surveilans berbasis masyarakat
  • Ada / tidaknya kegiatan kunjungan rumah untuk kadarzi dan PHBS.
Indikator Keluaran
Indikator keluaran untuk mengukur seberapa besar hasil kegiatan yang dicapai di suatu desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga, meliputi :
  • Cakupan pelayanan kesehatan dasar Poskesdes
  • Cakupan pelayanan UKBM-UKBM lain.
  • Jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB yang dilaporkan
  • Cakupan rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk kadarzi dan PHBS4.
Indikator Dampak
Indikator ini mengukur seberapa besar dampak dan hasil kegiatan di desa dalam rangka pengembangan desa siaga, meliputi :
  • Jumlah penduduk yang menderita sakit
  • Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa
  • Jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia
  • Jumlah bayi dan balita yang meninggal dunia
  • Jumlah balita dengan gizi buruk.

Ayo, ke BIDAN SIAGA..!!

Monday, March 2, 2009

Faster than you think :-)

Anda butuh Notebook / Laptop??
Komputer?
Upgrade Hardware?
Antivirus tanpa harus Update?
dan semua keperluan Kompie?


Hubungi : Nisa _ 085729308429

Termurah!
Termudah!
Terlengkap!


Anda akan mendapatkan layanan yang istimewa dengan performa komputer yang tinggi, kecepatan kerja komputer Anda maksimal dengan harga yang menyesuaikan budget Anda.
Anda tidak perlu susah payah menuju lokasi kami, karena kami yang akan menuju lokasi Anda dengan layanan Home Service (antar jemput) serta yang lebih manerik lagi :
Garansi dari kami SEUMUR HIDUP *.
Segera buktikan, hubungi kami, dan nikmati kemudahan berkomputer Anda!!


*) Selama settingan tidak dimodifikasi dan Install ulang operating system.

Saturday, February 28, 2009

sisa



hanya sisa dari kekalahan dan kelelahan yang takkan mungkin menjadi kekekalan.
hanya kutipan dari beberapa tangisan dan kejenuhan yang tak jua mau terpungkiri.
namun, aku masih ada.
di dunia.
sekarang.

deburan...


aku ingin membiarkannya kabur...
kabur terhanyut oleh debur...
aku ingin membiarkan semuanya semu...
semu tak menentu,.
seperti aku.




lost...



dan semuanya mulai aku tuliskan...
kesenangan, kesedihan, ketakutan, kecemasan, segalanya...

meski hanya mampu aku tulis di atas pasir,
yang aku tahu semua akan mudah memudar...
saat terbawa arus ombak...

aku hanya yakin bahwa semua akan meninggalkan jejak...
seperti langkahku...

Wednesday, February 25, 2009

come back here....


...............................
dan kusadari betapa berharga kenanganmu
di kala jiwaku tak terbatas bebas berandai mengulang waktu...
hingga masih bisa kuraih dirimu sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
bilakah diriku berucap maaf, masa yang telah kuingkari dan meninggalkanmu

teman yang terhanyut arus waktu, mekar mendewasa
masih kusimpan suara tawa kita, kembalilah sahabat lawasku
semarakkan keheningan lubuk

hingga masih bisa kurangkul kalian sosok yang mengaliri cawan hidupku
bilakah kita menangis bersama, tegar melawan tempaan semangatmu itu

hingga masih bisa kujangkau cahaya, senyum yang menyalakan hasrat diriku
bilakah kuhentikan pasir waktu, tak terbangun dari khayal keajaiban ini

andai ada satu cara, tuk kembali menatap agung surya-Mu

bersama kalian...

Tuesday, February 17, 2009

masih adakah????


semua kini telah menjadi tawar.
tanpa rasa, tanpa asa.
masih adakah cerita?? masih adakah berita??
ataukah semua telah terkubur masa?
atau kabur tanpa sisa??

andai saja mereka tau yg aku rasa.
kehilangan sesuatu yg sangat bermakna,
adalah ketakutan yg melengserkan segenap kekuatan.
yah, aku harap masih ada yg mau tau ttg itu...

kenyataan emang terlalu pahit untuk aku telan sendiri,
tanpa mereka lagi........... []

may i?


bolehkah aq rindukan semua ini??? masih punya hak kah aq???
huff,

binguuuuuuuuuuuungg...........................

mw posting apa nih??

lg gag bs mikir...... haduh......

kenapa hidup jd gag hidup???? huff,

Sunday, February 1, 2009

buwad mb' nasti

PENGGUNAAN EPINEFRIN UNTUK RESUSITASI

BAYI BARU LAHIR DENGAN KEGAGALAN DAN BRADIKARDI

TERHADAP MORTALITAS DAN MORBIDITAS

Ketika bayi lahir, penilaian pertama ditujukan pada empat poin, yaitu kematangan (dilihat dari usia gestasi), cairan ketuban (apakah bercampur mekonium atau tidak), pernafasan (tangis bayi), dan aktivitas tonus otot. Jika hasil dari keseluruhan penilaian menyatakan bahwa bayi dalam keadaan sehat (lahir cukup bulan, air ketuban tanpa mekonium, lahir menangis dan tonus otot aktif), maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh provider layanan kesehatan yang bersangkutan adalah memberikan perwatan rutin kepada bayi tersebut. Perawatan rutin meliputi menjaga kehangatan (suhu) tubuh bayi, mengeringkan seluruh permukaan tubuh bayi kecuali telapak tangan, membungkus bayi dengan kain dan membersihkan jalan napas dengan kateter balon (jika perlu saja, bukan merupakan langkah wajib) kemudian melanjutkan dengan melakukan inisiasi menyusui dini. Semua tindakan pada perawatan rutin ini dilakukan di atas perut ibu.

Jika hasil dari keempat penilaian awal bayi baru lahir tersebut terdapat hasil yang tidak baik (bayi tidak menangis, misalnya) maka langkah yang seharusnya dilakukan oleh provider layanan kesehatan adalah melakukan langkah awal resusitasi yang meliputi reposisi bayi (dengan posisi bahu lebih tinggi 1-3 cm dari kepala dan anggota tubuh lainnya), membersihkan jalan napas dan kemudian dilanjutkan dengan menilai denyut jantungnya. Jika hasil penilaian denyut jantung menunjukkan denyut kurang dari 100 kali per menit maka bayi dapat diberikan langkah awal resusitasi berupa ventilasi tekanan positif. Kebutuhan oksigen untuk ventilasi tekanan positif (VTP) adalah 30 cm H2O atau lebih untuk napas pertama, 15-20 cm H2O untuk napas selajutnya dan 20-40 cm H2O untuk bayi dengan penyakit paru-paru yang mengakibatkan turunnya compliance (Perinasia, 2006). Ventilasi tekanan positif ini dilakukan selama 30 detik (sekitar 20-30 kali pompa) sambil melihat perubahan kondisi bayi. Setelah itu dapat dilakukan evaluasi dengan menilai nafas bayi, warna kulit, aktivitas tonus otot, dan denyut jantung.

Dari hasil penilaian jika ditemukan denyut jantung bayi setelah diberikan ventilasi tekanan positif justru kurang dari 60 kali per menit, maka langkah resusitasi selanjutnya adalah dengan memberikan pijat dada (chest compression) dengan aturan 3 kompresi dan 1 ventilasi selama 15 siklus. Jika hasil evaluasi berikutnya masih menyatakan bahwa denyut jantung bayi masih kurang dari 60 kali per menit maka dapat dipertimbangkan penggunaan sejenis obat vasopresor seperti adrenalin, epinefrin, nor epinefrin, dan lain sebagainya. Adrenalin dapat digunakan pada dosis 0,1-0,3 ml/kgBB secara intravena. Penggunaan epinefrin juga direkomendasikan jika setelah mendapatkan ventilasi tekanan positif dan kompresi dada selama 30 detik sedangkan denyut jantung bayi masih kurang dari 60 kali per menit. Dosis dari penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir sendiri adalah 0,1-0,3 ml/kgBB dengan pengenceran 1:10000 yang dapat diberikan melalui pembuluh vena (intravena) ataupun secara endotrakeal.

Dari beberapa bahan bacaan, epinefrin merupakan stimulant (perangsang kerja) jantung dan pembuluh darah. Meskipun penggunaan epinefrin untuk resusitasi bayi baru lahir sudah dibenarkan secara formal, namun hal tersebut belum mempunyai bukti yang telah diteliti dengan cermat. Sebagian besar penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir hanya didasarkan pada pembuktian efeknya terhadap binatang dan orang dewasa. Penelitian terhadap efek pada bayi sendiri belum dilakukan sehingga belum ada bukti pasti yang mendasari penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir.

Beberapa ahli menyimpulkan bahwa epinefrin digunakan untuk menolong bayi yang lahir dengan kegawatan (hampir mati) dan mengalami bradikardi yang ekstrim atau jantung bayi yang tiba-tiba berhenti berdetak sesaat sebelum lahir. Ahli menarik kesimpulan tersebut dari hasil penelitian yang mengungkapkan fakta yang baik hasilnya pada hewan (anjing) dan pada orang dewasa. Sehingga masih diperlukan lagi untuk diadakan penelitian langsung pada populasi bayi baru lahir untuk mengatahui secara pasti efek penggunaan epinefrin terhadap derajat mortalitas dan morbiditas.

Penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir dan pengaruhnya terhadap mortalitas dan morbiditas dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain dari cara / rute pamberian (intravena atau endotrakeal), dosis pemberian (dosis standar atau dosis tinggi) dan usia kematangan bayi (preterm atau aterm). International Guidelines 2000 Conference on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiac Care (AAP 2000) juga masih menyanksikan penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir. Pernyataan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar data pengetahuan dan sumber rekomendasi epinefrin diperoleh dari hasil penelitian terhadap binatang dan orang dewasa, bukan pada bayi baru lahir. Beberapa fakta menyatakan bahwa banyak kemungkinan terjadi efek samping dari penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir, yang meliputi kelainan organ mayor seperti kegagalan ginjal, nekrosis enterokolitis, perdarahan intraventrikuler dan infark.

Pada hasil penelitian terhadap binatang, diketahui bahwa epinefrin mempunyai efek beta-1 yang merangsang jantung dan efek alfa yang meningkatkan resistensi organ noncerebral. Dari perpaduan kedua efek tersebut, maka setelah diberikan epinefrin diharapkan dapat meningkatkan aliran darah menuju otak dan jantung (Berkowitz, 1991). Namun demikian, efek beta-1 juga mempunyai kelemahan, yaitu dapat menghambat pemulihan keadaan pasca resusitasi oleh karena kenaikan kebutuhan oksigen di jantung.

Pada rekomendasi pengetahuan menyebutkan bahwa dosis pemberian epinefrin adalah 0,1-0,3 ml.kgBB dengan pengenceran 1:10000, dan dapat diberikan baik secara intravena maupun endotrakeal yang diulang pemberiannya tiap tiga sampai lima menit sesuai indikasi. Dosis yang lebih tinggi telah diujicobakan penggunaannya pada anak-anak (Goetting, 1991) dan orang dewasa (Paradis, 1991) namun belum ada uji coba yang dilakukan pada kelompok bayi baru lahir. Pada penelitian secara acak menyebutkan bahwa dosis epinefrin yang lebih tinggi (melebihi dosis standar) justru tidak meningkatkan derajat keselamatan dan hasil neurologi. Lebih jauh lagi, dosis yang lebih tinggi akan mengakibatkan takikardi, hipertensi dan kematian mendadak pasca resusitasi.

Jika epinefrin diberikan secara endotrakeal, level plasma darah yang diharapkan dapat tercapai di samping efek penurunan aliran darah menuju paru-paru. Ditinjau dari kematangan (usia kehamilan) pemberian epinefrin akan mengakibatkan banyak risiko tertentu yang sampai sekarang belum bias untuk dijelaskan. Hasilnya menyebutkan bahwa bayi preterm (belum mengalami pematangan organ) akan lebih mudah terserang fluktuasi hemodinamik dengan penggunaan epinefrin yang berkelanjutan (Pasternak, 1983). Bayi preterm akan mudah mengalami gangguan perlukaan otak, seperti iskemik dan hipoksia.

Efek lain yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir antara lain :

  • Mortalitas sebelum usia 28 minggu, pada saat pemulihan, dan pada usia 1, 2, dan 5 tahun.
  • Kecacatan akan teerlihat pada usia 12, 24 bulan dan saat usia 5 tahun. Kecacatan yang terjadi dapat berupa kebutaan, ketulian, cerebral palsy, dan keterlambatan pertumbuhan kognitif.
  • Kematian atau kecacatan pada usia 12 bulan, 15 bulan dan 5 tahun.

Sedangkan untuk efek pemberian epiinefrin pada bayi baru lahir selai efek tersebut di atas dapat meliputi :

  • Perdarahan intraventrikuler
  • IVH derajat III dan IV
  • Leukomalacia
  • Keterlambatan kognitif
  • Cerebral palsy (pada usia 12 bulan, 24 bulan, dan 5 tahun)
  • Kebutaan
  • Ketulian
  • Penggunaan suplemen oksigen tiap 28 hari
  • Penggunaan suplemen oksigen pada 36 minggu setelah usia post menstruasi
  • Penggunaan suplemen oksigen saat pemulihan di rumah.
  • Nekrosis enterokolitis
  • Penurunan kadar keratin

Dengan melakukan penelitian secara acak, penggunaan epinefrin pada resusitasi neonatal tidak ditemukan. Jangan dipastikan jika penggunaan epinefrin pada bayi baru lahir dengan gawat napas dan ekstrim bradikardi akan mengurangi derajat mortalitas dan morbiditas. Selain itu juga, berhubung penggunaan epinefrin yang sangat berisiko pada resusitasi bayi baru lahir, diharapkan ada penelitian menganai perbandingan epinefrin terhadap obat alternatif lain, seperti vaso pressor nor epinefrin yang secara teoritis akan dapat memberikan efek alfa lebih optimal dan efek beta tanpa efek bahaya potensial sel beta.

Dari hasil penelitian, dapat diketahui nilai potensi efek baik efek alfa maupun efek beta pada epinefrin dan norepinefrin. Hal tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini :


Obat Aktivitas pada Reseptor
Alfa-1 Beta-1 Beta-2
Norepinefrin 3 + 2 + Tidak diketahui
Epinefrin 2/3 + 3 + 3 +

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa norepinefrin memiliki efek alfa-1 (3+) yang berfungsi meningkatkan resistensi organ non cerebral lebih besar daripada efek beta-1 (2+) yang menstimulasi / merangsang kerja jantung. Namun dalam hal ini yang perlu diingat adalah bahwa efek beta-1 juga mempunyai kelemahan yaitu menghambat pemulihan pasca resusitasi karena peningkatan kebutuhan oksigen di paru-paru, sehingga dalam hal ini norepinefrin mempunyai kekuatan yang lebih tinggi untuk efek alfa-1 daripada efek beta-1, meskipun efek beta-2 belum diketahui. Dari sini dapat disimpulkan bahwa norepinefrin tidak mempunyai efek negatif yang besar jika digunakan dalam resusitasi meskipun sejauh ini penelitian terhadap bayi baru lahir belum dilakukan secara spesifik.

Tabel di atas juga menunjukkan seberapa besar efek epinefrin jika digunakan sebagai vasopresor pada resusitasi. Dapat kita lihat nilai efek alfa-1, beta-1, dan beta-2 dari epinefrin. Efek alfa dan beta secara keseluruhan lebih tinggi efek beta-nya. Meskipun efek beta juga akan merangsang kerja jantung, namun ia nantinya justru akan menghambat pemulihan kondisi tubuh pasca resusitasi, dan dikhawatirkan karena efek beta lebih besar hampir dua kali dari efek alfa-nya, risiko kejadian dan efek negatif pasca resusitasi akan lebih potensial terjadi. Ditakutkan nantinya beberapa gangguan otak dan saraf akan banyak terjadi beberapa periode setelah dilakukannya resusitasi seperti yang telah diungkapkan di atas, karena pada dasarnya penghambatan pemulihan keadaan pasca resusitasi ini disebabkan karena kenaikan kebutuhan oksigen di jantung (melebihi kebutuhan normal, sehingga perlu suplemen oksigen dalam keseharian). Uraian di atas cukup memberikan literatur untuk membandingkan penggunaan epinefrin dalam resusitasi dan obat lain yang memungkinkan untuk digunakan dalam tindakan resusitasi bayi baru lahir. Karena pada dasarnya sampai sekarang belum ada penelitian yang dapat membuktikan obat apakah yang paling efektif untuk digunakan pada resusitasi bayi baru lahir.

Dalam hal ini mungkin boleh dicoba untuk menggunakan norepinefrin pada resusitasi bayi baru lahir karena efek negatifnya yang lebih rendah daripada efek positifnya, sehingga diharapkan kejadian dan efek samping yang timbul baik itu gangguan otak, saraf maupun organ lain dapat diminimalisasi. Alasan perekomendasian norepinefrin pada resusitasi bayi baru lahir dengan kegawatan dan bradikardi yang ekstrim dapat berupa :

  • Vasokonstriktor cukup kuat meningkatkan SVR (systemic vascular resistance)
  • Meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit meningkatkan denyut nadi
  • Meningkatkan MAP: 65-75 mmHg sampai dengan final (85 mmHg)
  • Mempertahankan denyut jantung 97-101 kali/menit.
  • NE potensial terhadap α1 (alfa-1) reseptor agonist.

Karena selama ini belum ada satu pun penelitian yang dapat menjadi dasar pengetahuan penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir dengan kegawatan dan bradikardi yang ekstrim, maka disarankan untuk diadakan penelitian lebih lanjut mengenai obat alternatif lain yang lebih aman digunakan dan membawa efek negatif lebih sedikit dibandingkan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir. Terutama bagi bayi baru lahir yang belum mengalami pematangan organ tubuh (preterm) diperlukan pengawasan lebih lanjut mengenai penggunaan obat vasopresor dalam tindakan resusitasinya, mengingat bayi baru lahir yang preterm yang mempunyai potensi lebih tinggi untuk mengalami asfiksia dan memerlukan resusitasi daripada bayi yang sudah mengalami kematangan organ tubuh (aterm).

met praktik.... met ngaskeb....

wew, emg susah yah klo praktik gini...

temend2 ud pada enek2 bobo... eh yg ngaskeb msh mesti lembur deh buwad ngerjain ini itu...

haduh...

tp gag papa... asalkan dng kesabaran...... insyaAllah smw berjalan lancar..

temend2 met praktik ya... rajin ngaskeb, jng males n mg aj target qt cpt slese... amiin.....


smangdh yah...!!!!

dimanapun qt, yg ptg kompak n ikhlas jalanin smw....
barakallah....

Friday, January 30, 2009

ngasKeb????

Dear God.....

the only thing i asked of You is to make my duties passed.....

huff, 3 minggu gag bs pulang, ditambah dengan penderitaan bertubi-tubi selama 2 minggu ke depan... rasanya seakan ingin ku teriakkan...:

tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkk.................!!!!!!!!!!!!!!

tp barang siapa mw ndengerinnya??
sedang suara ku terkalahkan riuhnya udara yang terus mengitari belahan bumi ini...
God....
poor me.... beri aq kesabaran dan kekuatan yah...
juga bwt sahabat2, rekan2, juga temen2 smw moga askeb qt luancar2 ajah yah.... amiiinnnnn...........

may Allah bless us....

Thursday, January 29, 2009

isi jurnal tugas bu sari...

sebuah jurnal tentang epinephrin dalam resusitasi
(isi jurnal dari tugas bu sari hastuti)

Background
Epinephrine is a cardiac stimulant with complex effects on the heart and blood vessels. It has been used for decades in all age groups to treat cardiac arrest and bradycardia. Despite formal guidelines for the use of epinephrine in neonatal resuscitation, the evidence for these recommendations has not yet been rigorously scrutinised. While it is understood that this evidence is in large part derived from animal models and the adult human population, the contribution from work in the neonatal population remains unclear. In particular, it remains to be determined if any randomized studies in neonates have helped to establish if the administration of epinephrine in the context of apparent stillbirth or extreme bradycardia might influence mortality and morbidity.
Objectives
Primary objective: To determine the effect of administration of epinephrine to apparently stillborn and extremely bradycardic newborns on mortality and morbidity
Secondary objectives: To determine the effect of intravenous vs endotracheal administration on mortality and morbidity. To determine the effect of high dose vs. standard dose epinephrine on mortality and morbidity (where high dose is defined as any dose greater than the current recommended standard dose of 0.1 to 0.3ml/kg of a 1:10,000 solution of epinephrine). To determine whether the effect of epinephrine on mortality and morbidity varies with gestational age [i.e. term (greater than or equal to 37 weeks) versus preterm (less than 37 weeks)]
Search strategy
Searches were made of Medline from 1966 to August 2007, CINAHL (from 1982), Current Contents (from 1988), EMBASE, and the Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL, The Cochrane Library, Issue 2, 2007). Bibliographies of conference proceedings were reviewed and unpublished studies were sought by hand searching the conference proceedings of the Society for Pediatric Research and the European Society for Pediatric Research from 1993 to 2007.
Selection criteria
Randomized and quasi-randomized controlled trials of newborns, both pre-term and term, receiving epinephrine for unexpected apparent stillbirth or extreme bradycardia.
Authors’ conclusions
No randomized, controlled trials evaluating the administration of epinephrine to the apparently stillborn or extremely bradycardic newborn infant were found. Similarly, no randomized, controlled trials that addressed the issues of optimum dosage and route of administration of epinephrine were found. Current recommendations for the use of epinephrine in newborn infants are based only on evidence derived from animal models and the human adult literature. Randomized trials in neonates are urgently required to determine the role of epinephrine in this population.

P L A I N L A N G U A G E S U M A R Y
Epinephrine for the resuscitation of apparently stillborn or extremely bradycardic newborn infants. There are no trials investigating the effects of epinephrine to try to revive babies who appear to be stillborn or close to death at birth. Some babies are born with a very slow heart beat (extreme bradycardia) or their hearts have stopped beating shortly before birth (apparent stillbirth). Although they may appear to be close to death, it may be possible to revive these babies. Epinephrine is a drug that stimulates the heart and has been used to treat cardiac arrest and bradycardia in people of all ages. However, the review found no trials of the use of epinephrine for reviving newborn babies with extreme bradycardia or whose hearts appear to have just stopped beating. Research is needed into the effects of epinephrine on newborns.

Epinephrine
B A C K G R O U N D
It is widely accepted that epinephrine should have a place in the resuscitation of the apparently stillborn or extremely bradycardic infant. Formal guidelines sanctioning its use are in existence and include the position statement formulated at the International Guidelines 2000 Conference on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiac Care (AAP 2000). This position statement, based on a consensus of experts, specifically advises that epinephrine be used when the heart rate remains less than sixty after at least thirty seconds of adequate ventilation and chest compressions. Furthermore, it considers this to be a Class 1 recommendation, where class 1 indicates a practice that is “always acceptable, proven safe and definitely useful”. However, a recent review concluded that there is in fact very little scientific evidence in support of these recommendations, and that the existing evidence is largely derived from animal research and the human adult literature (Wyckoff 2001). The use of epinephrine is also endorsed in the resuscitation texts and courses of the American Academy of Pediatrics (AAP Kattwinkel 2000) and the European Resuscitation Council (ALSG 2000) but again without reference to any supporting scientific data. It is also acknowledged that significant hazards may be associated with the use of epinephrine. These include the possibility that the caregiver may be distracted from giving priority to ventilatory support, and a possible predisposition to major organ injury such as renal failure, necrotising enterocolitis and intraventricular hemorrhage/infarction (ECNI 1992). In animal models, epinephrine has been shown to exert its benefits through the combination of beta-1 effects which stimulate the heart and, more importantly, the alpha effect of increasing non cerebral peripheral resistance. As a function of the latter, cerebral and myocardial blood flow are increased (Berkowitz 1991). Beta-1 effects, however, may also impede post resuscitation recovery by increasing myocardial oxygen demand (Vincent 1997). In humans, there are no data on the ontogeny of adrenergic receptors or on the time course of myocardial sympathetic innervations (Zaritsky 1984). Studies that examined age-related effects of catecholamines in piglets and lambs have, however, demonstrated that responses in cardiac contractility and vascular reflexes are diminished in the newborn animal (Buckley 1979;Manders 1979). Many questions also remain unanswered with regard to both the dosage and route of administration of epinephrine. The current recommendation regarding dose is to use 0.1 - 0.3 ml/kg of a 1:10 000 solution, by the intravenous or endotracheal route, repeated every three to five minutes as indicated. Higher doses have been used in children (Goetting 1991) and adults (Paradis 1991) but there are no data addressing this issue in the neonatal population. Meta-analysis of studies comparing high versus low dose epinephrine in adults did not show any benefit with the higher dose (Vandyke 2000). A randomized, blinded trial of high versus standard dose epinephrine in a swine model showed that the higher dose did not improve survival rate or neurological outcome. Furthermore, the higher dose was associated with severe tachycardia and hypertension, and a higher mortality rate immediately after resuscitation (Berg 1996). Lucas showed that after endotracheal administration, comparable plasma levels of epinephrine can be achieved despite the low pulmonary blood flow seen in a newborn lamb model of cardiopulmonary resuscitation (Lucas 1994). However, on the basis of data derived from a dog model (Orlowski 1990) and from a human adult study (Quinton 1987), other authors have suggested that the endotracheal route is unreliable. Dosage considerations are also clouded by the finding in newborn lambs that the extent of metabolic acidosis can significantly attenuate the hemodynamic response to epinephrine (Preziosi 1993). Whether the use of epinephrine in infants with extreme prematurity poses specific risks remains unclear. The hypothesis that the preterm infant may be vulnerable to haemodynamic fluctuations of the type induced by epinephrine has been investigated in a beagle puppy model (Pasternak 1983). This study showed that acute onset cerebral hypertension, as may be seen in response to catecholamines, is a likely significant risk factor for intraventricular hemorrhage. Antenatal factors predisposing to premature birth pose independent risks for cerebral injury, as may post-natal ischemia/hypoxia (Graziani 1996). Given these considerations, it would be valuable to undertake a subgroup analysis of available data on the use of epinephrine by gestational age. Finally, perhaps one of the most compelling reasons to closely examine the evidence for the use of epinephrine is that when administered to very preterm infants, there may be a very high rate of death and disability (Sims 1994; O’Donnell 1998).

O B J E C T I V E S
Primary objective:
  • To determine the effect of administration of epinephrine to apparently stillborn and extremely bradycardic newborns on mortality and morbidity
Secondary objectives:
  • To determine the effect of intravenous vs. endotracheal administration on mortality and morbidity
  • To determine the effect of high dose vs. standard dose epinephrine on mortality and morbidity (where high dose is defined as any dose greater than the current recommended standard dose of 0.1 to 0.3ml/kg of a 1:10,000 solution of epinephrine)
  • To determine whether the effect of epinephrine on mortality and morbidity varies with gestational age [i.e. term(greater than or equal to 37 weeks) versus pre-term (less than 37 weeks)]
M E T H O D S
Criteria for considering studies for this review
Types of studies
Randomized and quasi-randomized controlled trials. The unit of randomization may be the individual or a cluster (e.g. allocation by time period or hospital).
Types of participants
Newborns, both preterm and term, receiving resuscitation for unexpected apparent stillbirth* or extreme bradycardia (heart rate less than 60 beats per minute after a minimum of 30 seconds of ventilation and chest compressions).
*apparent stillbirth being defined as the baby identified as a systolic immediately after birth, a heart rate having been recognized intrapartum.
Types of interventions
a) epinephrine administration vs. placebo or no epinephrine administration.
b) high dose (as defined above) vs. standard dose epinephrine.
c) Intravenous vs. endotracheal administration.

Types of outcome measures
Primary:
  • Mortality - before 28 days, at discharge and at 12 and 24 months, and 5 yrs
  • Severe disability at follow-up at 12, 24 months and 5 yrs on, defined as any of blindness, deafness, cerebral palsy or cognitive delay (score more than 2 standard deviations below the mean for a recognized psychometric test, e.g. Bayley Scales)
  • Death or severe disability at 12 and 24 months, and 5 yrs
Secondary:
  • Any intraventricular hemorrhage
  • Severe intraventricular hemorrhage (IVH) (Papile grades three and four)
  • Periventricular leucomalacia (PVL)
  • Cognitive delay (as above)
  • Cerebral palsy at 12 and 24 months, and 5 yrs
  • Blindness
  • Deafness
  • Any supplemental oxygen requirement at 28 days
  • Any supplemental oxygen requirement at 36 weeks postmenstrual age
  • Any supplemental oxygen requirement at discharge home
  • Days of mechanical ventilation (via endotracheal tube or nasal continuous positive airway pressure)
  • Days of supplemental oxygen therapy
  • Necrotising enterocolitis
  • Elevated serum creatinine
  • Days of intensive care
  • Days in hospital
Data collection and analysis
Criteria and methods used to assess the methodological quality of the trials: standard methods of the Cochrane Collaboration and its Neonatal Review Group were used. Two of the three reviewers worked independently to search for and assess trials for inclusion and methodological quality. Eligible studies were to be assessed using the following key criteria: allocation concealment (blinding of randomization), blinding of intervention, completeness of follow up and blinding of outcome measurement. The reviewers were to extract data independently. Differences were to be resolved by discussion. Study investigators were to be contacted for additional information or data as required. Weighted mean differences (WMD) were to be reported for continuous variables such as duration of oxygen therapy. For categorical outcomes such as mortality, the relative risks (RR) and 95% confidence intervals were to be reported. For significant findings, the risk difference (RD) and number needed to treat (NNT) were also to be reported. Each comparison was to be tested for heterogeneity to determine suitability for pooling of results in a meta-analysis. The fixed effects model was to be used for meta-analysis. The following subgroup analyses were planned:
  1. Epinephrine vs. no epinephrine/placebo: Four subgroups on the basis of dose and route of administration (i.e., standard dose/i.v., high dose/i.v., standard dose/ETT, high dose/ETT).
  2. Intravenous vs. endotracheal route of administration: Three subgroups on the basis of dose (i.e., standard dose equal in both groups, high dose equal in both groups, and differing doses).
  3. Standard dose vs. high dose: Identified trials were to be placed in two sub-groups on the basis of route of administration (i.e., intravenous and endotracheal). A sensitivity analysis was planned, including only trials of highest methodological quality (i.e. truly randomized).
R E S U L T S
Description of studies
See: Characteristics of excluded studies. No studies were found meeting the inclusion criteria for this review. Three case series were identified by the search strategy. Sims et al (Sims 1994) retrospectively examined data for 105 infants who received epinephrine and/or atropine for resuscitation in the delivery room and/or nursery settings. Of the 25 survivors, nine were severely handicapped at follow up. The factors associated with a worse outcome were: gestation less than 28 weeks, need for early repeated resuscitation, a systole, and collapse without a clear precipitant. O’Donnell et al (O’Donnell 1998) attempted to evaluate mortality and morbidity for 78 infants requiring epinephrine as part of resuscitation at birth, with follow up after at least one year. 40 infants survived, with significantly more term survivors (67%) compared to preterm (42%). Of the babies below 29 weeks gestation, 78% either died or showed evidence of neuro developmental disability. These findings are very different to those of Jankov et al (Jankov 2000) who retrospectively examined outcomes for babies of birth weight less than 750 grams. In this study, of 16 babies who received CPR, 12 also received epinephrine. Nine of the 16 babies survived and eight of these showed no disability at a median follow up age of two years. In addition, the use of epinephrine was not statistically associated with an adverse outcome in this study.
D I S C U S S I O N
Given that no randomized controlled trials which address the use of epinephrine in neonatal resuscitation were found, this systematic review does not establish if the administration of epinephrine to the apparently stillborn or extremely bradycardic newborn reduces mortality and morbidity. This confirms that the current recommendations for the use of epinephrine in this context are based only on evidence derived from animal models and the human adult literature. The search strategy used for this review did identify three case series, but no clinical trial data. These retrospective studies, while highlighting the possible long term dangers and benefits associated with the use of epinephrine, cannot be used to reaffirm or modify current guidelines. Given that epinephrine may be hazardous to the resuscitated newborn, it would be valuable for future trials to compare epinephrine not only with placebo/no drug, but also with other drugs. The neonatal literature does not currently recognize an immediately eligible alternative drug, but other vaso-pressor agents, such as nor epinephrine, are theoretically plausible in providing powerful alpha effects without potentially harmful beta effects.
A U T H O R S ’ C O N C L U S I O N S
Implications for practice
No randomized, controlled trials were found to support or refute that the administration of epinephrine to the apparently stillborn or extremely bradycardic newborn infant reduces mortality and morbidity. Similarly, we found no randomized, controlled trials which addressed the issues of optimum dosage and route of administration of epinephrine.
Implications for research
There is an urgent need for randomized, controlled trials to establish if the administration of epinephrine to the apparently stillborn or extremely bradycardic newborn affects mortality and morbidity.

What's a Critical Appraisal???

Critical appraisal is one step in the process of evidence-based clinical practice. Evidence-based clinical practice is an approach to decision making in which the clinician uses the best evidence available, in consultation with the patient, to decide the option which suits the patient best.
  1. To determine what is : the best evidence, we need critical appraisal skills that will help us to understand the methods and results of research and to assess the quality of the research. Most research is not perfect, and critical appraisal is not an exact science it will not give us the right answer. But it can help us to decide whether we think a reported piece of research is good enough to be used in decision making. There are many factors that come into play when making health-care decisions research evidence is just one of them. If research has flaws, it is up to readers to use their critical appraisal skills to decide whether this affects the usefulness of the paper in influencing their decision.
  2. Pros of critical appraisal in practice : Critical appraisal provides a systematic way of assessing the validity, results and usefulness of published research papers. Together with skills in finding research evidence and changing practice as a result of research, critical appraisal is the route to closing the gap between research and practice1 and as such makes an essential contribution to improving health-care quality. Critical appraisal encourages objective assessment of the usefulness of information critical appraisal skills are applied to published research, but all evidence should be appraised to weigh up its usefulness. Critical appraisal skills are not difficult to develop. Critical appraisal is a common sense approach to reading, and user-friendly tools are available to help anyone develop these skills.
  3. Cons of critical appraisal in practice : Critical appraisal can be time-consuming initially, although with time it becomes the automatic way to look at research papers. Critical appraisal does not always provide the reader with the easy answer or the answer one might have hoped for; it may highlight that a favored intervention is in fact ineffective. Critical appraisal can be dispiriting if it highlights a lack of good evidence, it may take determination to persist with an area of interest when access to good research in the area is limited.
to know this article in Indonesia, click here.

Wednesday, January 28, 2009

APKOM New Year 2009


Let's join..
Don't miss it!!
we must be there.

Tuesday, January 27, 2009

Gaza, we will not go down....!!!



A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Anatomi

PERSENDIAN

  1. Artikulasio temporomandibularis : adalah persendian yang terletak antara tulang pelipis (temporal) dengan tulang rahang bawah (mandibula).
  2. Artikulasio columnavertebralis : adalah persendian antara ruas-ruas tulang belakang.
  3. Artikulasio acromioclavikularis : adalah persendian yang menghubungkan akromion (tonjolan pada tulang belikat) dengan klavikula (tulang selangka).
  4. Artikulasio sternoklavikularis : adalah persendian antara sternum (tulang dada) dengan klavikula (tulang selangka).
  5. Artikulasio cubiti : adalah persendian yang menghubungkan antara humerus (tulang lengan atas) dengan tulang lengan bawah. Persendian ini terletak pada siku tangan.
  6. Artikulasio radioulnaris : adalah persendian yang menghubungkan tulang hasta dengan tulang pengumpil.
  7. Artikulasio carpi : adalah persendian yang terdapat pada tulang – tulang pergelangan tangan.
  8. Artikulasio carpometakarpal & phalangeal : adalah persendian antara tulang – tulang pangkal tangan dengan tulang tengah tangan dan ruas – ruas jari tangan.
  9. Symphisis pubis : adalah persendian pada tulang kemaluan (os. pubis)
  10. Artikulasio sacroiliaca : adalah persendian antara tulang kelangkang (os. sacrum) dengan tulang usus (os. illium).
  11. Artikulasio coxae : adalah persendian yang tereltak pada tulang pinggul (os. coxae).
  12. Artikulasio genu : adalah persendian yang menghubungkan humerus (tulang paha) dengan tulang kering (tibia). Persendian ini terletak pada lutut.
  13. Artikulasio talocuralis : adalah persendian antara tulang kaki bawah (fibula & tibia) dengan tulang pergelangan kaki.

Saturday, January 24, 2009

Reflek Primitif

REFLEK PRIMITIF PADA BAYI BARU LAHIR

Reflek primitif adalah aksi reflek yang berasal dari dalam pusat sistem saraf yang ditunjukkan oleh bayi baru lahir normal namun secara neurologis tidak lengkap seperti pada orang dewasa dalam menanggapi rangsang tertentu. Reflek ini tidak menetap hingga dewasa, namun lama-kelamaan akan menghilang karena dihambat oleh lobus frontal sesuai dengan tahap perkembangan anak normal. Reflek primitif ini sering juga disebut infantile atau reflek bayi baru lahir.
Anak-anak dan dewasa yang mengalami kelainan atau gangguan saraf (sebagai contoh, penderita cerebral palsy) akan tetap mempunyai reflek primitif ini dan akan timbul kembali hingga masa dewasa mengacu pada keadaan saraf tertentu termasuk demensia, lesi trauma dan stroke. Seseorang dengan gangguan cerebral palsy dan keterbatasan mental kecerdasan dapat belajar untuk lebih menekan reflek ini agar tidak muncul pada kondisi tertentu seperti selama memulai reaksi yang ekstrim. Reflek dapat dibatasi pada area tubuh tertentu saja yang dipengaruhi oleh gangguan saraf seperti reflek Babinsky pada kaki untuk penderita cerebral palsy. Atau juga dapat terjadi pada orang normal dengan hemiplegia, reflek dapat dilihat pada kaki di daerah yang terserang saja.
Reflek primitif juga diperiksa pada seseorang yang diduga mengalami luka di otaknya untuk menguji fungsi dari lobus frontal. Jika tidak ada penekanan secara tepat maka terjadi tanda-tanda penurunan fungsi tulang depan kepala (frontal). Selain itu gangguan reflek primitif juga diperiksa sebagai tanda peringatan awal terjadinya gangguan autis.
Reflek pada bayi baru lahir beraneka ragam. Sebuah contoh pasti adalah reflek rooting yang membantu proses inisiasi menyusui dini dan proses menyusui nantinya. Bayi hanya akan menunjukkan reflek ini pada saat kelaparan dan disentuh sekitar bibirnya oleh orang lain, tapi bukan termasuk bayi itu sendiri. Ada beberapa reflek yang kemungkinan akan membantu bayi bertahan selama masa adaptasi lingkungan kehidupan barunya seperi reflek moro. Reflek yang lain seperti reflek menelan dan memegang sesuatu akan membantu menjalin interaksi positif antara orang tua dan bayi baru lahir. Reflek tersebut dapat memacu orang tua untuk memberikan respon dengan penuh cinta dan kasih sayang serta lebih memotivasi ibu untuk menyusui. Reflek primitif ini juga membantu orang tua merasa nyaman dengan bayinya karena reflek primitif tersebut akan mendorong bayi untuk mengontrol dirinya serta menerima dan menanggapi stimulasi atau rangsangan dari orang tuanya. (Berk, Laura E.. Child Development. 8th. USA: Pearson, 2009.)

Macam-macam Reflek Primitif pada Bayi Baru Lahir
Reflek Ketuk Glabella : Reflek ini diperiksa dengan mengetuk secara berulang pada dahi. Ketukan akan diterjemahkan sebagai sinyal yang diterima oleh saraf sensori aferen yang akan dipindahkan oleh nervus trigeminal dan sinyal saraf eferen akan kembali ke otot orbicularis oculi melalui saraf facial yang akan menggerakkan reflek pada mata yaitu berkedip. Kedipan mata akan mucul sebagai reaksi terhadap ketukan tersebut namun hanya timbul sekali yaitu pada ketukan pertama. Jika kedipan mata terus berlangsung pada ketukan-ketukan selanjutnya, maka disebut tanda-tanda Myerson, yang merupakan gejala awal penyakit Parkinson, dan hal tersebut tidak normal.
Reflek Mata Boneka : Reflek ini diperiksa sebagai salah satu cara untuk menentukan mati batang otak. Jika kepala diputar-putar (ditolehkan ke samping kanan dan kiri) maka bola mata akan bergerak. Namun jika pada pemeriksaan ini bola mata tetap berhenti atau tidak bergerak sama sekali berarti dimungkinkan ada kematian batang otak.
Reflek Rooting : Reflek ini ditunjukkan pada saat kelahiran dan akan membantu proses menyusui. Reflek ini akan mulai terhambat pada usia sekitar empat bulan dan berangsur-angsur akan terbawa di bawah sadar. Seorang bayi baru lahir akan menggerakkan kepalanya menuju sesuatu yang menyentuh pipi atau mulutnya, dan mencari obyek tersebut dengan menggerakkan kepalanya terus-menerus hingga ia berhasil menemukan obyek tersebut. Setelah merespon rangsang ini (jika menyusui, kira-kira selama tiga minggu setelah kelahiran) bayi akan langsung menggerakkan kepalanya lebih cepat dan tepat untuk menemukan obyek tanpa harus mencari-cari.
Reflek Sucking : Reflek ini secara umum ada pada semua jenis mamalia dan dimulai sejak lahir. Reflek ini berhubungan dengan rreflek rooting dan menyusui, dan menyebabkan bayi untuk secara langsung mengisap apapun yang disentuhkan di mulutnya. Ada dua tahapan dari reflek ini, yaitu :
Tahap expression : dilakukan pada saat puting susu diletakkan diantara bibir bayi dan disentuhkan di permukaan langit-langitnya. Bayi akan secara langsung menekan (mengenyot) puting dengan menggunakan lidah dan langit-langitnya untuk mengeluarkan air susunya.
Tahap milking : saat lidah bergerak dari areola menuju puting, mendorong air susu dari payudara ibu untuk ditelan oleh bayi.
Reflek tonick neck dan asymmetric tonick neck ini disebut juga posisi menengadah, muncul pada usia satu bulan dan akan menghilang pada sekitar usia lima bulan. Saat kepala bayi digerakkan ke samping, lengan pada sisi tersebut akan lurus dan lengan yang berlawanan akan menekuk (kadang-kadang pergerakan akan sangat halus atau lemah). Jika bayi baru lahir tidak mampu untuk melakukan posisi ini atau jika reflek ini terus menetap hingga lewat usia 6 bulan, bayi dimungkinkan mengalami gangguan pada neuron motorik atas. Berdasarkan penelitian, reflek tonick neck merupakan suatu tanda awal koordinasi mata dan kepala bayi yang akan menyiapkan bayi untuk mencapai gerak sadar.
Reflek Palmar Grasping : Reflek ini muncul pada saat kelahiran dan akan menetap hingga usia 5 sampai 6 bulan. Saat sebuah benda diletakkan di tangan bayi dan menyentuh telapak tangannya, maka jari-jari tangan akan menutup dan menggenggam benda tersebut. Genggaman yang ditimbulkan sangat kuat namun tidak dapat diperkirakan, walaupun juga dimungkinkan akan mendorong berat badan bayi, bayi mungkin juga akan menggenggam tiba-tiba dan tanpa rangsangan. Genggaman bayi dapat dikurangi kekuatannya dengan menggosok punggung atau bagian samping tangan bayi.
Reflek Plantar : Reflek ini juga disebut reflek plantar grasp, muncul sejak lahir dan berlangsung hingga sekitar satu tahun kelahiran. Reflek plantar ini dapat diperiksa dengan menggosokkan sesuatu di telapan kakinya, maka jari-jari kakinya akan melekuk secara erat.
Reflek Babinsky : Reflek babinsky muncul sejak lahir dan berlangsung hingga kira-kira satu tahun. Reflek ini ditunjukkan pada saat bagian samping telapak kaki digosok, dan menyebabkan jari-jari kaki menyebar dan jempol kaki ekstensi. Reflek disebabkan oleh kurangnya myelinasi traktus corticospinal pada bayi. Reflek babinsky juga merupakan tanda abnormalitas saraf seperti lesi neuromotorik atas pada orang dewasa.
Reflek Galant : Reflek ini juga dikenal sebagai reflek Galant’s infantile, ditemukan oleh seorang neurolog dari Rusia, Johann Susman Galant. Reflek ini muncul sejak lahir dan berlangsung sampai pada usia empat hingga enam bulan. Pada saat kulit di sepanjang sisi punggung bayi diigosok, maka bayi akan berayun menuju sisi yang digosok. Jika reflek ini menetap hingga lewat enam bulan, dimungkinkan ada patologis.
Reflek Swimming : Reflek ini ditunjukkan pada saat bayi diletakkan di kolam yang berisii air, ia akan mulai mengayuh dan menendang seperti gerakan berenang. Reflek ini akan menghilang pada usia empat sampai enam bulan. Reflek ini berfungsi untuk membantu bayi bertahan jika ia tenggelam. Meskipun bayi akan mulai mengayuh dan menendang seperti berenang, namun meletakkan bayi di air sangat berisiko. Bayi akan menelan banyak air pada saat itu. Disarankan untuk menunda meletakkan bayi di air hingga usia tiga tahun.
Reflek Moro : Reflek ini ditemukan oleh seorang pediatri bernama Ernst Moro. Reflek ini muncul sejak lahir, paling kuat pada usia satu bulan dan akan mulai mengjilang pada usia dua bulan. Reflek ini terjadi jika kepala bayi tiba-tiba terangkat, suhu tubuh bayi berubah secara drastis atau pada saat bayi dikagetkan oleh suara yang keras. Kaki dan tangan akan melakukan gerakan ekstensi dan lengan akan tersentak ke atas dengan telapak tangan ke atas dan ibu jarinya bergerak fleksi. Siingkatnya, kedua lengan akan terangkat dan tangan seperti ingin mencengkeram atau memeluk tubuh dan bayi menangis sangat keras. Reflek ini normalnya akan menghilang pada usia tiga sampai empat bulan, meskipun terkadang akan menetap hingga usia enam bulan. Tidak adanya reflek ini pada kedua sisi tubuh atau bilateral (kanan dan kiri) menandakan adanya kerusakan pada sistem saraf pusat bayi, sementara tidak adanya reflek moro unilateral (pada satu sisi saja) dapat menandakan adanya trauma persalinan seperti fraktur klavikula atau perlukaan pada pleksus brakhialis. Erb’s palsy atau beberapa jenis paralysis kadang juga timbul pada beberapa kasus. Sebuah cara untuk memeriksa keadaan reflek adalah dengan melatakkan bayi secara horizontal dan meluruskan punggungnya dan biarkan kepala bayi turun secara pelan-pelan atau kagetkan bayi dengan suara yang keras dan tiba-tiba. Reflek moro ini akan membantu bayi untuk memeluk ibunya saat ibu menggendong bayinya sepanjang hari. Jika bayi kehilangan keseimbangan, reflek ini akan menyebabkan bayi memeluk ibunya dan bergantung pada tubuh ibunya.
Reflek Walking / Stepping : Reflek ini muncul sejak lahir, walaupun bayi tidak dapat menahan berat tubuhnya, namun saat tumit kakinya disentuhkan pada suatu permukaan yang rata, bayi akan terdorong untuk berjalan dengan menempatkan satu kakinya di depan kaki yang lain. Reflek ini akan menghilang sebagai sebuah respon otomatis dan muncul kembali sebagai kebiasaan secara sadar pada sekitar usia delapan bulan hingga satu tahun untuk persiapan kemampuan berjalan.

aq mesti pulang....

hari ini aq mw pulang....
huff, cuapek ntar di rumah,,, tp ya kan mesti pulang....

doain aj lah ntar bs nyampe jogja lg dengan penuh kebahagiaan.... amiin.....

mama, wait me there.......


i'm coming.....

Friday, January 23, 2009

classmates.......


temand temand.....

semangadh yah!!!!!!

keep compact!!!

keep fighting!!!!

hamasah!!!

Wednesday, January 21, 2009

we luv u, Dad....



Fa biayyi ala irabbikuma tukadziban????
(maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan??)

aq sadar ya Allah, begitu besar rahmat kasih, nikmat serta cinta-Mu.
berkat pertolongan-Mu lah papa bs kembali seperi sekarang ini...

Ya Allah, memori yg telah terlukis selama bertahun-tahun dii benak keluargaq,
g kan mungkin akan terhapus sia-sia...
kami percaya untuk apa Kau berikan ujian itu kepada kami...

aq yakin, dng kekuatan papa,
ketegaran mama,
juga senyum jundi-jundi mereka yg tak jua lelah berdzikir kapada-Nya
akan didengarlah oleh Allah doa-doanya..

hingga sampai saat ini,
semoga keluargaq senantiasa diberikan kesabaran dan kekuatan iman
dalam menjaga amanah dan menerima anugrah-Mu ya Rabb... amiin...


papa, berjuanglah!!
aq sayang papa....!!!
we love u, Dad.....

sobatquw.....


aq kangen kebersamaan qt....

aq kengan tawa qt....

aq kangen tangis qt....

sobat, kalian dimana??? T_T

sweet daughters of mum...


foto ma adek tersayang....
dek, whatever mbak lakuin ke adek tu karena mbak pengen adek dewasa,
karena mbak sayang ma adek...
mbak pengen qt berdua bnr2 bs bahagiain mama papa, sayang..

qt bs bikin mereka berdua tersenyum, penuh semangat dan keceriaan...

dek, maaf yah klo mbak byk salah ma kamu...
smangat yah sayang!!

doain mbak ya...

Monday, January 19, 2009

Mama, we'll go to heaven...


Alhamdulillah.... udah nyampe jogja lagi....

seneng sih, br aja ketemu sanak keluarga.... tp capek bgt rasanya...
repot di rumah kmrn2...

tp gpp, demi nyenengin smwnya... biar bs bikin ortu tersenyum, apa salahnya??
kalo emg org tua qt rela nyakititn diri mereka sendiri buat qt, knp qt gag nyakitin diri qt buat mereka??

sebisa apapun itu, selalu korbanin apa yg qt punya bwt ortu qt, tentunya selama itu g ngerugiin sapa2 n masih sesuai ajaran Allah....

aq bahagia bgt klo aq bs bahagiain mereka....

andaikata mama ud berkorban nyawa bwt nganter aq jalani hidup di dunia ni, aq bakal nyerahin segala hidup aq bwt ngebales smw jasa beliau.... yah, meskipun g akan mampu bwt ngegantiin perjuangan mama bwt aq....


mama.... miss u...
papa.... luv u....

Thursday, January 15, 2009

pamit....

hari ni aq mesti pulang....
mama ud nunggu trz....
mw ada acara papa di rumah...

doain nyampe rmh dng slamat... amiin

gag tw mesti sedih apa seneng, bs pulang, tp mesti ninggalin smwnya....

ninggalin tmn2, ninggalin asrama, ninggalin blog, frenster, YM ma fesbuk....
mpe minggu dpn...

sabtu minggu ada acara LDK di direktorat... haduh,,, gag ada lagi tawa n kehangatan dr org yg aq....

owh.....

yah, smg aj smwnya bs jalan dng baek n terbaik bwt aq.. amiin...

Wednesday, January 14, 2009

save Palestine!!


kasian bgt klo liat sodara2 qt di palestine...
rasanya pengen nangis, gag tw gmn caranya bwt bantu mereka...
mw ikut perang, gag bs...
mw kesana bantu nglindungin anak2 n wanita, gag mungkin..
mw hijrah kesana bwt jd relawan kesehatan, gag siap...

yah, mungkin cm bisa bantu doa dulu,,,
itupun semampu aq... T_T

sahabat2.....
bantu mereka yah, ikut doain sodara2 qt....

smg mereka diberi kesabaran, ketabahan, kekuatan dan kekukuhan iman oleh Allah..
amiinn....

oia, bwt info, bs boykot dlu produk2 yg mendanai serangan ke Palestine.

Alhamdulillah.......


Puji syukur Alhamdulillah ada waktu jg di tahun 2009.... akhirnya bs lanjutin lg deh ngeblognya... hehe :-)