PENGGUNAAN EPINEFRIN UNTUK RESUSITASI
BAYI BARU LAHIR DENGAN KEGAGALAN DAN BRADIKARDI
TERHADAP MORTALITAS DAN MORBIDITAS
Ketika bayi lahir, penilaian pertama ditujukan pada empat poin, yaitu kematangan (dilihat dari usia gestasi), cairan ketuban (apakah bercampur mekonium atau tidak), pernafasan (tangis bayi), dan aktivitas tonus otot. Jika hasil dari keseluruhan penilaian menyatakan bahwa bayi dalam keadaan sehat (lahir cukup bulan, air ketuban tanpa mekonium, lahir menangis dan tonus otot aktif), maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh provider layanan kesehatan yang bersangkutan adalah memberikan perwatan rutin kepada bayi tersebut. Perawatan rutin meliputi menjaga kehangatan (suhu) tubuh bayi, mengeringkan seluruh permukaan tubuh bayi kecuali telapak tangan, membungkus bayi dengan kain dan membersihkan jalan napas dengan kateter balon (jika perlu saja, bukan merupakan langkah wajib) kemudian melanjutkan dengan melakukan inisiasi menyusui dini. Semua tindakan pada perawatan rutin ini dilakukan di atas perut ibu.
Jika hasil dari keempat penilaian awal bayi baru lahir tersebut terdapat hasil yang tidak baik (bayi tidak menangis, misalnya) maka langkah yang seharusnya dilakukan oleh provider layanan kesehatan adalah melakukan langkah awal resusitasi yang meliputi reposisi bayi (dengan posisi bahu lebih tinggi 1-3 cm dari kepala dan anggota tubuh lainnya), membersihkan jalan napas dan kemudian dilanjutkan dengan menilai denyut jantungnya. Jika hasil penilaian denyut jantung menunjukkan denyut kurang dari 100 kali per menit maka bayi dapat diberikan langkah awal resusitasi berupa ventilasi tekanan positif. Kebutuhan oksigen untuk ventilasi tekanan positif (VTP) adalah 30 cm H2O atau lebih untuk napas pertama, 15-20 cm H2O untuk napas selajutnya dan 20-40 cm H2O untuk bayi dengan penyakit paru-paru yang mengakibatkan turunnya compliance (Perinasia, 2006). Ventilasi tekanan positif ini dilakukan selama 30 detik (sekitar 20-30 kali pompa) sambil melihat perubahan kondisi bayi. Setelah itu dapat dilakukan evaluasi dengan menilai nafas bayi, warna kulit, aktivitas tonus otot, dan denyut jantung.
Dari hasil penilaian jika ditemukan denyut jantung bayi setelah diberikan ventilasi tekanan positif justru kurang dari 60 kali per menit, maka langkah resusitasi selanjutnya adalah dengan memberikan pijat dada (chest compression) dengan aturan 3 kompresi dan 1 ventilasi selama 15 siklus. Jika hasil evaluasi berikutnya masih menyatakan bahwa denyut jantung bayi masih kurang dari 60 kali per menit maka dapat dipertimbangkan penggunaan sejenis obat vasopresor seperti adrenalin, epinefrin, nor epinefrin, dan lain sebagainya. Adrenalin dapat digunakan pada dosis 0,1-0,3 ml/kgBB secara intravena. Penggunaan epinefrin juga direkomendasikan jika setelah mendapatkan ventilasi tekanan positif dan kompresi dada selama 30 detik sedangkan denyut jantung bayi masih kurang dari 60 kali per menit. Dosis dari penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir sendiri adalah 0,1-0,3 ml/kgBB dengan pengenceran 1:10000 yang dapat diberikan melalui pembuluh vena (intravena) ataupun secara endotrakeal.
Dari beberapa bahan bacaan, epinefrin merupakan stimulant (perangsang kerja) jantung dan pembuluh darah. Meskipun penggunaan epinefrin untuk resusitasi bayi baru lahir sudah dibenarkan secara formal, namun hal tersebut belum mempunyai bukti yang telah diteliti dengan cermat. Sebagian besar penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir hanya didasarkan pada pembuktian efeknya terhadap binatang dan orang dewasa. Penelitian terhadap efek pada bayi sendiri belum dilakukan sehingga belum ada bukti pasti yang mendasari penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir.
Beberapa ahli menyimpulkan bahwa epinefrin digunakan untuk menolong bayi yang lahir dengan kegawatan (hampir mati) dan mengalami bradikardi yang ekstrim atau jantung bayi yang tiba-tiba berhenti berdetak sesaat sebelum lahir. Ahli menarik kesimpulan tersebut dari hasil penelitian yang mengungkapkan fakta yang baik hasilnya pada hewan (anjing) dan pada orang dewasa. Sehingga masih diperlukan lagi untuk diadakan penelitian langsung pada populasi bayi baru lahir untuk mengatahui secara pasti efek penggunaan epinefrin terhadap derajat mortalitas dan morbiditas.
Penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir dan pengaruhnya terhadap mortalitas dan morbiditas dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain dari cara / rute pamberian (intravena atau endotrakeal), dosis pemberian (dosis standar atau dosis tinggi) dan usia kematangan bayi (preterm atau aterm). International Guidelines 2000 Conference on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiac Care (AAP 2000) juga masih menyanksikan penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir. Pernyataan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar data pengetahuan dan sumber rekomendasi epinefrin diperoleh dari hasil penelitian terhadap binatang dan orang dewasa, bukan pada bayi baru lahir. Beberapa fakta menyatakan bahwa banyak kemungkinan terjadi efek samping dari penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir, yang meliputi kelainan organ mayor seperti kegagalan ginjal, nekrosis enterokolitis, perdarahan intraventrikuler dan infark.
Pada hasil penelitian terhadap binatang, diketahui bahwa epinefrin mempunyai efek beta-1 yang merangsang jantung dan efek alfa yang meningkatkan resistensi organ noncerebral. Dari perpaduan kedua efek tersebut, maka setelah diberikan epinefrin diharapkan dapat meningkatkan aliran darah menuju otak dan jantung (Berkowitz, 1991). Namun demikian, efek beta-1 juga mempunyai kelemahan, yaitu dapat menghambat pemulihan keadaan pasca resusitasi oleh karena kenaikan kebutuhan oksigen di jantung.
Pada rekomendasi pengetahuan menyebutkan bahwa dosis pemberian epinefrin adalah 0,1-0,3 ml.kgBB dengan pengenceran 1:10000, dan dapat diberikan baik secara intravena maupun endotrakeal yang diulang pemberiannya tiap tiga sampai lima menit sesuai indikasi. Dosis yang lebih tinggi telah diujicobakan penggunaannya pada anak-anak (Goetting, 1991) dan orang dewasa (Paradis, 1991) namun belum ada uji coba yang dilakukan pada kelompok bayi baru lahir. Pada penelitian secara acak menyebutkan bahwa dosis epinefrin yang lebih tinggi (melebihi dosis standar) justru tidak meningkatkan derajat keselamatan dan hasil neurologi. Lebih jauh lagi, dosis yang lebih tinggi akan mengakibatkan takikardi, hipertensi dan kematian mendadak pasca resusitasi.
Jika epinefrin diberikan secara endotrakeal, level plasma darah yang diharapkan dapat tercapai di samping efek penurunan aliran darah menuju paru-paru. Ditinjau dari kematangan (usia kehamilan) pemberian epinefrin akan mengakibatkan banyak risiko tertentu yang sampai sekarang belum bias untuk dijelaskan. Hasilnya menyebutkan bahwa bayi preterm (belum mengalami pematangan organ) akan lebih mudah terserang fluktuasi hemodinamik dengan penggunaan epinefrin yang berkelanjutan (Pasternak, 1983). Bayi preterm akan mudah mengalami gangguan perlukaan otak, seperti iskemik dan hipoksia.
Efek lain yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir antara lain :
- Mortalitas sebelum usia 28 minggu, pada saat pemulihan, dan pada usia 1, 2, dan 5 tahun.
- Kecacatan akan teerlihat pada usia 12, 24 bulan dan saat usia 5 tahun. Kecacatan yang terjadi dapat berupa kebutaan, ketulian, cerebral palsy, dan keterlambatan pertumbuhan kognitif.
- Kematian atau kecacatan pada usia 12 bulan, 15 bulan dan 5 tahun.
Sedangkan untuk efek pemberian epiinefrin pada bayi baru lahir selai efek tersebut di atas dapat meliputi :
- Perdarahan intraventrikuler
- IVH derajat III dan IV
- Leukomalacia
- Keterlambatan kognitif
- Cerebral palsy (pada usia 12 bulan, 24 bulan, dan 5 tahun)
- Kebutaan
- Ketulian
- Penggunaan suplemen oksigen tiap 28 hari
- Penggunaan suplemen oksigen pada 36 minggu setelah usia post menstruasi
- Penggunaan suplemen oksigen saat pemulihan di rumah.
- Nekrosis enterokolitis
- Penurunan kadar keratin
Dengan melakukan penelitian secara acak, penggunaan epinefrin pada resusitasi neonatal tidak ditemukan. Jangan dipastikan jika penggunaan epinefrin pada bayi baru lahir dengan gawat napas dan ekstrim bradikardi akan mengurangi derajat mortalitas dan morbiditas. Selain itu juga, berhubung penggunaan epinefrin yang sangat berisiko pada resusitasi bayi baru lahir, diharapkan ada penelitian menganai perbandingan epinefrin terhadap obat alternatif lain, seperti vaso pressor nor epinefrin yang secara teoritis akan dapat memberikan efek alfa lebih optimal dan efek beta tanpa efek bahaya potensial sel beta.
Dari hasil penelitian, dapat diketahui nilai potensi efek baik efek alfa maupun efek beta pada epinefrin dan norepinefrin. Hal tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini :
Obat | Aktivitas pada Reseptor | ||
Alfa-1 | Beta-1 | Beta-2 | |
Norepinefrin | 3 + | 2 + | Tidak diketahui |
Epinefrin | 2/3 + | 3 + | 3 + |
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa norepinefrin memiliki efek alfa-1 (3+) yang berfungsi meningkatkan resistensi organ non cerebral lebih besar daripada efek beta-1 (2+) yang menstimulasi / merangsang kerja jantung. Namun dalam hal ini yang perlu diingat adalah bahwa efek beta-1 juga mempunyai kelemahan yaitu menghambat pemulihan pasca resusitasi karena peningkatan kebutuhan oksigen di paru-paru, sehingga dalam hal ini norepinefrin mempunyai kekuatan yang lebih tinggi untuk efek alfa-1 daripada efek beta-1, meskipun efek beta-2 belum diketahui. Dari sini dapat disimpulkan bahwa norepinefrin tidak mempunyai efek negatif yang besar jika digunakan dalam resusitasi meskipun sejauh ini penelitian terhadap bayi baru lahir belum dilakukan secara spesifik.
Tabel di atas juga menunjukkan seberapa besar efek epinefrin jika digunakan sebagai vasopresor pada resusitasi. Dapat kita lihat nilai efek alfa-1, beta-1, dan beta-2 dari epinefrin. Efek alfa dan beta secara keseluruhan lebih tinggi efek beta-nya. Meskipun efek beta juga akan merangsang kerja jantung, namun ia nantinya justru akan menghambat pemulihan kondisi tubuh pasca resusitasi, dan dikhawatirkan karena efek beta lebih besar hampir dua kali dari efek alfa-nya, risiko kejadian dan efek negatif pasca resusitasi akan lebih potensial terjadi. Ditakutkan nantinya beberapa gangguan otak dan saraf akan banyak terjadi beberapa periode setelah dilakukannya resusitasi seperti yang telah diungkapkan di atas, karena pada dasarnya penghambatan pemulihan keadaan pasca resusitasi ini disebabkan karena kenaikan kebutuhan oksigen di jantung (melebihi kebutuhan normal, sehingga perlu suplemen oksigen dalam keseharian). Uraian di atas cukup memberikan literatur untuk membandingkan penggunaan epinefrin dalam resusitasi dan obat lain yang memungkinkan untuk digunakan dalam tindakan resusitasi bayi baru lahir. Karena pada dasarnya sampai sekarang belum ada penelitian yang dapat membuktikan obat apakah yang paling efektif untuk digunakan pada resusitasi bayi baru lahir.
Dalam hal ini mungkin boleh dicoba untuk menggunakan norepinefrin pada resusitasi bayi baru lahir karena efek negatifnya yang lebih rendah daripada efek positifnya, sehingga diharapkan kejadian dan efek samping yang timbul baik itu gangguan otak, saraf maupun organ lain dapat diminimalisasi. Alasan perekomendasian norepinefrin pada resusitasi bayi baru lahir dengan kegawatan dan bradikardi yang ekstrim dapat berupa :
- Vasokonstriktor cukup kuat meningkatkan SVR (systemic vascular resistance)
- Meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit meningkatkan denyut nadi
- Meningkatkan MAP: 65-75 mmHg sampai dengan final (85 mmHg)
- Mempertahankan denyut jantung 97-101 kali/menit.
- NE potensial terhadap α1 (alfa-1) reseptor agonist.
Karena selama ini belum ada satu pun penelitian yang dapat menjadi dasar pengetahuan penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir dengan kegawatan dan bradikardi yang ekstrim, maka disarankan untuk diadakan penelitian lebih lanjut mengenai obat alternatif lain yang lebih aman digunakan dan membawa efek negatif lebih sedikit dibandingkan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir. Terutama bagi bayi baru lahir yang belum mengalami pematangan organ tubuh (preterm) diperlukan pengawasan lebih lanjut mengenai penggunaan obat vasopresor dalam tindakan resusitasinya, mengingat bayi baru lahir yang preterm yang mempunyai potensi lebih tinggi untuk mengalami asfiksia dan memerlukan resusitasi daripada bayi yang sudah mengalami kematangan organ tubuh (aterm).
No comments:
Post a Comment